Bebas Tuberkulosis 2030

Bebas Tuberkulosis 2030

Ilustrasi Indonesia target eliminasi Tuberkulosis (TB) di tahun 2030-disway-

Indonesia Menuju "Bebas Tuberkulosis 2030" dengan Semangat dan Strategi Nyata

1. Gambaran Umum: Program Cepat Tuntas TBC

Setiap tahun, sekitar 125.000 orang meninggal karena TBC, yang berarti 14 nyawa hilang setiap jam. Untuk mengakhirinya, pemerintah meluncurkan Program Cepat Tuntas TBC: Indonesia Bebas Tuberkulosis 2030 sebagai prioritas nasional.

2. Skala Masalah & Strategi Pemerintah

  • Indonesia memiliki potensi sekitar 1.090.000 kasus TBC per tahun, termasuk lebih dari 800.000 kasus baru.

  • Penyakit ini mengancam produktivitas, khususnya pada usia produktif (15–54 tahun), dengan kontribusi kasus mencapai 67%.

  • Presiden Prabowo Subianto menegaskan penanganan TBC sebagai prioritas nasional melalui pendekatan inovatif, berbasis pencegahan, dan didukung anggaran besar.

3. Landasan Kebijakan & Komitmen Pemerintah

  • Perpres No. 67 Tahun 2021 menjadi fondasi, menetapkan target insiden dan kematian TBC per 100.000 penduduk pada 2030.

  • Pandemi COVID-19 sempat menurunkan deteksi kasus hingga 40% pada 2020–2021.

  • Pemerintahan baru menghadirkan pendekatan "cepat dan tepat" dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC), meningkatkan anggaran hingga 20 kali lipat.

4. Anggaran dan Target 2025

  • Total anggaran untuk TBC tahun 2025: Rp2,4 triliun, naik dari Rp2,2 triliun di 2024.

    • Rp1,47 triliun untuk penemuan kasus (target: 981.000 pasien baru)

    • Rp633 miliar untuk pengobatan (931.950 orang ditargetkan sembuh)

    • Rp182 miliar untuk pencegahan (menjangkau 100.000 kontak dan kelompok rentan)

  • Dukungan alat skrining dari USAID dan Global Fund, termasuk portable X-ray dan biomolekuler, memperkuat diagnosis kesehatan.

5. Pendekatan Program 2025

  1. Deteksi dan diagnosis cepat lewat Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan kader komunitas.

  2. Pengobatan efektif: durasi lebih pendek (~6 bulan), target penyembuhan >80%.

  3. Peran pemerintah daerah untuk adaptasi strategi lokal demi penurunan kasus hingga 50% dalam 5 tahun.

  4. Kolaborasi multisektor: gerakan “GIATKAN” menyatukan lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat.

  5. Penanganan risiko: edukasi, kondisi hidup sehat, skrining kontak, dan pencegahan.

  6. Monitoring & evaluasi: sistem transparan, target Quick Win 50% penurunan kasus dalam 5 tahun (hingga Mei 2025, telah tercatat 66.797 kasus dan 45.796 pengobatan).

6. Inovasi Teknologi & Pendekatan Sosial

  • Pada Maret 2025, 29% kontribusi penemuan kasus berasal dari komunitas, sementara CKG menjangkau 18 juta warga.

  • Dokter Ngabila Salama menekankan bahwa penanganan TBC butuh pendekatan menyeluruh: skrining cepat, pengobatan gratis, dukungan psikososial & nutrisi, edukasi, dan sistem kesehatan digital—dengan peran serta influencer dan tokoh masyarakat.

7. Pencegahan & Dukungan Gizi – Khusus ODHA

  • Vaksin BCG tetap diperkuat, sambil menunggu vaksin TBC baru. Lingkungan sehat, edukasi, dan peran aktif masyarakat sangat penting.

  • Risiko lebih tinggi terjadi pada penderita HIV, dengan gizi buruk atau imunitas rendah. Dukungan nutrisi, vaksin flu/pneumokokus, dan terapi ARV menjadi penting.

8. Program Quick Win TBC

  • Diluncurkan sejak 2023–2024, fokus pada deteksi dini, pengobatan cepat, dan pencegahan efektif (TPT mencapai 72% target).

  • Sampai 17 Agustus 2025, 493 ribu kasus TBC telah terdeteksi di beberapa provinsi prioritas seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI, Sumut, Banten, NTT, dan Sulsel.

9. Peran DPR dan Pemerintah Daerah

  • DPR mendukung penuh dengan persetujuan anggaran, pengawasan ketat, dan transparansi digital untuk meminimalisir kendala birokrasi.

  • Distribusi layanan harus merata—tidak hanya Jakarta—melainkan hingga kabupaten/kota dengan alat GeneXpert, dukungan kader desa, dan penguatan laboratorium.

10. Sinergi Nasional & Komitmen Bersama

 

  • Wamenkes Prof. Dante Harbuwono membandingkan posisi Indonesia sebelumnya menyerupai China, menekankan pentingnya edukasi dan intervensi keluarga untuk memutus mata rantai penularan.

  • BPJS Kesehatan mendukung dari sisi pembiayaan kuratif dan rehabilitatif, sedangkan APBN, APBD, dan donor mendukung pencegahan.

  • BPJS juga perlu penyesuaian tarif untuk MDR-TB dan sinergi pendanaan demi layanan primer lebih kokoh.

  • Untuk melawan stigma negatif, kampanye nasional seperti "TBC Bukan Aib, Tapi Penyakit yang Bisa Disembuhkan!" digencarkan, dengan peran dari pendidikan, lingkungan kerja bebas TBC, dan duta desa yang mendukung penyuluhan.

Sumber:

Berita Terkait