Empal Gentong: Dari Ritus Kuliner Cirebon hingga Jadi Primadona Nasional

Empal Gentong: Dari Ritus Kuliner Cirebon hingga Jadi Primadona Nasional

Empal Gentong--portalmadura.com

KALSEL.DISWAY.ID - Siapa yang tidak kenal dengan Empal Gentong? Hidangan berkuah santan kekuningan dengan daging sapi empuk ini telah menjadi ikon kuliner yang menyihir para pencinta makanan dari berbagai penjuru. Namun, di balik kelezatannya, tersimpan sejarah panjang yang berakar dari tradisi masyarakat Cirebon, Jawa Barat.

Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber sejarah setempat, kuliner ini dipercaya telah ada sejak era Kesultanan Cirebon pada abad ke-16. Nama "empal gentong" sendiri berasal dari dua kata: "empal" yang merujuk pada olahan daging, dan "gentong" yang berarti periuk besar dari tanah liat.

Sejarah yang Terkait dengan Penyebaran Agama Islam

Sejarawan kuliner Cirebon, Ahmad Syarifudin, dalam sebuah wawancara menjelaskan, "Awal kemunculan Empal Gentong erat kaitannya dengan proses akulturasi budaya dan penyebaran agama Islam di Cirebon. Saat itu, hidangan daging sapi dimasak dalam gentong besar untuk acara-acara keagamaan atau selamatan, menjadi simbol kebersamaan dan syukur."

Melalui penjelasannya, dapat dipahami bahwa empal gentong bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari ritus sosial dan spiritual masyarakat pada masa itu. Penggunaan gentong tanah liat diyakini memberikan cita rasa khas yang tidak bisa digantikan dengan panci modern.

Filosofi dalam Setiap Santapan

Setiap elemen dalam Empal Gentong memiliki makna mendalam. Kuahnya yang berwarna kuning, berasal dari kunyit, melambangkan kebijaksanaan dan kemuliaan. Berbagai rempah yang digunakan mencerminkan kekayaan alam dan keragaman budaya Nusantara. Sementara proses memasak yang lama dan sabar menggambarkan nilai-nilai ketekunan dan kesabaran dalam hidup.

Dari Warung Sederhana ke Kancah Nasional

Pada mulanya, Empal Gentong hanya disajikan di kalangan terbatas dan warung-warung sederhana di sekitar Cirebon. Namun, seiring berjalannya waktu dan mobilitas penduduk yang meningkat, popularitas hidangan ini meroket.

Seorang pelaku usaha Empal Gentong generasi ketiga, Bambang Wijaya, mengonfirmasi, "Dulu kami hanya jualan di warung tenda. Sekarang sudah banyak cabang di berbagai kota. Kuncinya satu: tidak mengubah rasa otentik, terutama kuah kaldunya yang gurih dan rempahnya yang terasa." Dia menambahkan, "Kami tetap menggunakan teknik memasak lama dengan api kecil agar daging benar-benar empuk dan bumbu meresap sempurna."

Mengapa Empal Gentong Tetap Eksis?

Beberapa faktor membuat Empal Gentong tetap digemari:

  1. Rasa yang Autentik: Kombinasi gurih santan dan rempah-rempah utuh seperti serai, lengkuas, dan daun salam menciptakan profil rasa yang kompleks dan sulit ditiru.

  2. Kekayaan Budaya: Setiap mangkuk Empal Gentong menghidangkan cerita sejarah dan tradisi Cirebon yang kental.

  3. Ketersediaan Bahan: Bahan-bahan dasarnya mudah ditemui, memudahkan proses regenerasi para pelaku usahanya.

Empal Gentong adalah lebih dari sekadar hidangan. Ia adalah warisan kuliner yang menjadi living history, menyambung masa lalu dan masa kini. Keberadaannya tidak hanya memuaskan lidah, tetapi juga menjadi jendela untuk memahami budaya dan kearifan lokal Cirebon. Jadi, saat Anda menikmati semangkuk Empal Gentong, ingatlah bahwa Anda sedang menyantap sepotong sejarah Nusantara yang tetap hangat dan menggugah selera.

Sumber: