Perempuan, Kepemimpinan, dan Amanah di Ruang Akademik Islam
Masih sempitnya ruang bagi perempuan di posisi puncak PTKIN menunjukkan bahwa perjuangan belum selesai.
Namun, perubahan bisa dimulai dari kesadaran baru bahwa perempuan bukan hanya pendamping, melainkan penggerak transformasi.
Mereka membawa pengalaman, kebijaksanaan, dan empati yang dapat memperkaya arah pengembangan kampus Islam di masa depan. Dalam konteks ini, kepemimpinan perempuan bukan ancaman bagi tatanan lama, melainkan harapan bagi tatanan baru, kampus yang adil, berintegritas, dan berjiwa rahmah.
Maka, menguatkan posisi perempuan pemimpin bukanlah sekadar bentuk afirmasi, tetapi bagian dari ikhtiar menegakkan amanah Ilahi di ruang akademik Islam.
Sudah saatnya pemangku kebijakan, terutama Kementerian Agama Republik Indonesia, melihat kepemimpinan perempuan bukan sebagai pilihan alternatif, tetapi sebagai amanah strategis untuk menegakkan nilai keadilan dan kemaslahatan dalam sistem pendidikan tinggi Islam.
Proses seleksi dan penunjukan rektor seharusnya tidak lagi terkungkung pada pandangan lama tentang kelayakan berbasis gender, melainkan bertumpu pada integritas, visi, dan kemampuan moral untuk menuntun perubahan.
Memberi ruang bagi perempuan untuk memimpin bukanlah sekadar bentuk keadilan sosial, tetapi juga pengejawantahan nilai tauhid bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah diukur dari ketakwaan dan pengabdian, bukan jenis kelamin.
Mungkin jalan menuju kesetaraan masih panjang, tetapi setiap langkah perempuan yang memimpin dengan hati adalah bagian dari ibadah panjang menuju keadilan yang diridai Allah.
Dan setiap kebijakan yang memberi mereka ruang adalah bentuk keberanian negara untuk menegakkan nilai-nilai Islam secara sejati yaitu adil, amanah, dan penuh kasih.
Sumber: